Oleh: Dr. Ir. H. Imron Rosyadi, ST, MH – Wakil Ketua PWM Riau
Musyawarah adalah proses bermufakat atau bertukar pikiran secara kolektif untuk mengambil keputusan bersama yang adil dan bijaksana. Dalam kehidupan sehari-hari, musyawarah dimaknai sebagai perundingan atau pembahasan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk mencapai kesepakatan bersama tanpa paksaan, dengan menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan kepentingan umum.
Secara etimologis, kata musyawarah berasal dari bahasa Arab syawara (شاور) yang berarti berunding, meminta pendapat, atau bertukar pikiran. Inilah cara penyelesaian masalah yang mulia, yaitu dengan berdiskusi agar tercapai keputusan yang disetujui bersama. Dalam Islam, musyawarah bukan sekadar mekanisme sosial, melainkan bagian dari syariat yang mulia.
Dalam kehidupan berbangsa, musyawarah juga menjadi nilai dasar demokrasi Pancasila, terutama sila keempat: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Dengan demikian, musyawarah adalah jalan tengah yang mengikat nilai agama dan nilai kebangsaan.
Musyawarah dalam Organisasi
Setiap organisasi memiliki corak dalam bermusyawarah. Ada organisasi yang menjadikannya sekadar prosedur formal, sementara keputusan sesungguhnya sudah ditentukan oleh segelintir orang. Rapat hanya dijadikan stempel pengesahan. Ada pula musyawarah yang tidak menghasilkan keputusan apa-apa, karena masing-masing peserta rapat bersikeras agar pendapatnya diterima. Tidak jarang rapat kehilangan fokus dan melenceng jauh dari agenda.
Tipe lainnya, musyawarah dikuasai oleh peserta yang dominan, sementara yang lain hanya menjadi pendengar pasif. Akibatnya, keputusan lebih ditentukan oleh kekuatan dominasi, bukan oleh kebersamaan berpikir.
Musyawarahnya Muhammadiyah
Di Muhammadiyah, musyawarah memiliki ruh dan tradisi tersendiri. Setiap peserta rapat memiliki kedudukan yang sama, agenda rapat ditentukan terlebih dahulu, dan pembahasan selalu berfokus pada solusi. Tidak ada yang paling dominan, meskipun perdebatan sering kali hangat. Hampir semua peserta rapat aktif memberikan buah pikirannya, dan setiap pendapat didengar dengan sabar.
Keputusan akhirnya lahir dari semangat kebersamaan. Musyawarah Muhammadiyah adalah wadah untuk menimbang, menguji, dan menyepakati langkah terbaik organisasi. Inilah nilai luhur yang membedakan Muhammadiyah dari banyak organisasi lain.
Landasan Islam dalam Musyawarah
Sebagai organisasi Islam, musyawarah di Muhammadiyah tentu berlandaskan Al-Qur’an dan Hadis.
Dalil Al-Qur’an
1. QS. Asy-Syūrā: 38
"Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan melaksanakan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah di antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka."
2. QS. Āli ‘Imrān: 159
"Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauh dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal."
Dalil Hadis
1. HR. Tirmidzi
"Tidak akan merugi orang yang shalat istikharah, dan tidak akan menyesal orang yang bermusyawarah."
2. HR. Ahmad
"Apabila ada tiga orang dalam suatu perjalanan, maka hendaklah mereka mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin."
Penutup
Musyawarah adalah pilar penting dalam membangun gerakan Muhammadiyah yang inklusif, partisipatif, dan berkemajuan. Dalam musyawarah, kita belajar mendengar, menghargai perbedaan, dan mengambil keputusan dengan penuh kebijaksanaan.
Tradisi musyawarah Muhammadiyah adalah teladan bahwa keputusan yang lahir dari kesepakatan kolektif akan lebih kuat, lebih bijak, dan lebih diridhai Allah SWT. Dengan musyawarah yang sehat, Muhammadiyah akan terus tumbuh menjadi gerakan Islam yang memberi manfaat sebesar-besarnya bagi umat, bangsa, dan kemanusiaan semesta.